Meniti
Mangata
Sobekan buku itu serasa
merobek hatinya yang sedang perih, seorang pemuda menangis di balai sebuah
rumah pinggiran sungai malam itu diterangi sebuah lampu minyak sederhana,
“Aku harus melupakannya, Dea!” pemuda itu terisak
“Aku mengerti, Rev. Tapi kau masih sering bertemu, ingat
kau adalah temannya dan terbilang dekat dengan dia. Mana mungkin kau bisa
menjauhinya dalam situasi seperti itu?” seorang gadis mengelus halus
punggungnya
“Tapi aku tidak normal, aku gay dan aku tidak ingin menjadikannya
objek dari cintaku yang salah. Aku menyayanginya, aku harus menjauhinya.”
“Pikirkan Rev, kau kira mudah untuk melupakan seseorang
yang kau sayangi sedangkan kau harus selalu bertemu dengannya? Kau harus sadar
Rev! dengan merobek segala tulisanmu yang isinya momenmu dan Raka bisa
membuatmu bebas? Tidak!”
“De, aku takut semua orang tahu. Aku sudah mulai
dicurigai, apa kau tak ingat saat kita jalan ke Mall ketika Raka dekat aku, dan Mia bercanda soal aku suka Raka.
Aku bersemu merah De, banyak yang sadar akan itu sampai Felix menegurku kalau
aku benar suka dengan Raka.”
“Ya, aku juga takut Rev. Sampai saat ini hanya aku dan
Melly yang tahu kau berbeda. Tapi aku takut yang lain mengetahui dan tidak siap
menerimanya”
“Dea, aku takut jika itu terjadi. Aku ingin pindah saja
dan melupakan semuanya!”
“Jangan pernah katakan pindah! Aku akan membunuhmu.”
Pemuda itu masih
menatap nanar pada sobekan kertas yang berserakan di rumput, matanya masih
tergenang air mata karena logikanya bertentangan dengan perasaannya. Dia harus
melawan perasaannya demi logika yang harus diterima oleh teman-temannya, dia
memandangi sungai yang terbayang Mangata dari pantulan bulan sehingga membentuk
sebuah jalan. Cintaku seperti meniti mangata, mustahil untuk terwujud.
****
Pemuda itu masih dengan perasaan gusarnya masuk ke kelas
seperti biasa, dia berusaha untuk bersikap normal di hadapan teman-temannya.
Ketika langkahnya melewati papan tulis yang masih penuh dengan coretan angka,
tatapan sinis dan jijik dilemparkan oleh beberapa temannya kepada pemuda itu.
Dia berusaha bersikap biasa dan berprasangka baik, tapi sebelum dia duduk
dengan jelas tertulis dengan besar dan berwarna hitam kelam, “KAU GAY!”.
Tamparan keras pagi itu untuk pemuda bermata abu-abu itu. Seakan tungkainya lepas
dari tempatnya, ia dengan lemas duduk dan mulai menghapus tulisan itu disertai
derai air matanya yang menetes di mejanya.
“Hei homo, eh lu nangis? Ya elah pantes lu jadi homo. Lu
cengeng bo! Haha” teriak seorang pemuda di sudut ruang kelas.
“Eh homo itu nular gak sih? Pantesan aja lu jomblo. Oh
ternyata kamu suka sesama toh! Apalagi yang ditaksir mana Raka lagi! Mimpi
dah!” teriak gadis di depan meja dosen.
“Jijik dah gua jadinya, lu baik sih. Tapi setelah tau lu
homo gua jadi berpikiran lu baik ke cowok-cowok soalnya lu ngincer kita-kita”
pemuda lainnya berteriak jijik.
“Jadi pengen pindah deh, gak betah kalo ada homo di
kelas. Atau kamu aja yang pindah, ke US sana! Di sana homo bisa nikah, kan
cocok sama kamu!” Gadis berkacamata berlalu keluar kelas.
“Stop! Kalian gak ngerti semuanya! Kalian jahat sudah
giniin Revan! Dia udah baik ke kita, gak mungkin dia bakal nyakitin kita. Coba
nanti kalian tanya ke Raka, apa pernah Revan bikin susah Raka? Yang ada Raka
yang nyusahin Revan!” Dea masuk ke dalam kelas.
“Eh lu mah ngebela dia, jelas lah lu temannya. Mungkin lu
Fujoshi! Suka liat homo mesra-mesraan.” Pemuda di sudut berdiri menuju Dea.
“Gak gitu Gee! Revan emang gak maksud buat nyakitin kita.
Dia juga gak mau kayak gini. Dia mau normal tapi perasaanya masih ada sama si
Raka!” Melly ikut bicara
“Hahahha, bullshit
lu semua. Eh lu yang homo! Lu gak naksir gua kan? Tapi kalo gua liat lu emang
cocok jadian sama Raka. Lu itu imut dan kalo gua perhatiin setiap kita kumpul
atau nginap lu sering banget deket bahkan sampingan tidur sama Raka, dan lu
serasi kok tapi sayang lu cowok! Sadar woy!” Gee geram dan melempar buku
dihadapan Revan
Pemuda yang dulunya
disegani dan disayangi di kelas ini kini berubah menjadi orang paling dihindari
dan dibenci karena dia adalah seorang gay. Revan hanya terdiam dan terus
menitikan air mata, kini semuanya telah hancur. Rahasianya telah terbongkar,
meniti mangata semakin jelas.
“Pagi guys, eh pagi-pagi gini udah ngumpul. Eh Revan! lu
kenapa nangis?” Raka menyapa dari pintu.
“Eh kebetulan, Bro kemari deh. Lu tau kan sekarang banyak
LGBT yang berkeliaran.” Pemuda di samping Revan mencibir.
“Iya kan kita udah bahas ini pas diskusi gitu kan? Emang
kenapa di?”
“Eh ini, ada homo di kelas kita! Noh orangnya lagi nangis
soalnya kita udah tahu siapa dia sebenernya!” Adi gemas
“What? Revan? Guys! Ini bukan April Mop, gak usah kayak
gini deh. Kasian tuh Revan udah nangis, atau Revan juga nangisnya bohongan nih!
Gak lucu sumpah!”
“Ini serius, Raka! Coba kamu lihat setiap Revan dekat sama
kamu pasti dia seneng dan bersemu merah. Dia gak segan kan bantuin kamu kalo
lagi kesusahan meski dia juga banyak urusan? Nah dia naksir sama kamu!” Selena
gadis berkecamata itu masuk dan berdiri di samping Raka.
“Revan! Jawab aku! Apa bener yang temen-temen bilang kalo
lu Gay dan suka sama gua? Hah? Jawab Rev!” desak Raka
“Maaf!” Revan berdiri dan meninggalkan kelas menuju
parkiran.
Raka lemas mendengar
kata yang diucapkan Revan, dia masih tidak percaya kalau teman yang selama ini
suka membantunya dalam kesusahan ternyata naksir dengannya. Raka terdiam
melihat semua temannya menatap jijik pada Revan, dia tidak tega melihat Revan
diperlakukan seperti itu tapi dia juga membenci Gay! Dia Homophobic, dia tidak
ingin berurusan dengan hal semacam itu. Raka mengepalkan tangannya,
“Gua mau Revan segera pindah dari kampus ini! Selama dia
di kelas ini, bikin dia gak betah! Kursinya geser ke belakang dan beri batas.!”
Raka sedikit berteriak
“Kamu tega Raka! Aku kecewa!” Dea berlalu keluar
“Lu keterlaluan Rak! Lu gak bisa giniin Revan! Lu sama
jahatnya sama penjahat yang dipenjara karena kriminal berat. Gua gak nyangka lu
sekejam ini ke orang yang udah baik ke lu!” mata Melly berkaca-kaca
“Baik dan homo! Percuma! Suruh dia pindah secepatnya
sebelum bokap gua yang turun tangan buat ngeluarin dia dari Kampus ini!”
“Lu emang iblis! Lu sama aja sama teman-teman yang lain,
gak punya hati! Kalian memang jahat!” Melly berlalu sambil menahan tangisnya
Kini Revan benar-benar
menjadi orang yang dibenci, dan dianggap sebagai penjahat karena penyimpangan
orientasi seksualnya. Revan tak pernah menduga bahwa akan secepat ini dia akan
kehilangan teman-temannya. Teman-teman yang dulu selalu bersamanya dan
menghargainya, kini berubah menjadi musuhnya. Revan sadar bahwa ini akan terjadi
pada akhirnya tapi dia belum siap dengan ini semua, dia masih menyayangi
teman-temannya karena selama ini hanya mereka yang selalu ada buat Revan. Revan
kini tau bahwa tak ada yang selamanya di dunia ini termasuk pertemanan yang
mereka jalin selama hampir 3 tahun, miris rasanya Revan melihat dirinya kini
sendiri dan hanya dua orang temannya yang mau mengerti akan keadaanya sebagai
gay.
***
Revan
sedari tadi membolak balikkan tiket yang ada di tangannya, dia sudah memutuskan
untuk pindah dan memulai hidup baru di Thailand. Meski kepindahannya sangat dia
rahasiakan termasuk pada sahabatnya Dea dan Melly. Pengurusan berkasnya telah
selesai di Fakultas dan Universitasnya, dia memilih Thailand karena Negara itu
sudah ”Open mind” dengan hal semacam
LGBT, jurusan yang dia pilih tidak jauh dari jurusannya sekarang, Hubungan
Internasional. Beberapa jam lagi, Revan akan meninggalkan Indonesia, ketika dia
menunduk dan melihat jamnya angka 9 ditunjuk oleh jarum yang terus berputar
itu. Dia akan berangkat pukul 11.30, segera saja dia mempersiapkan diri menuju Bandara
untuk check in.
Taksi
biru yang sedari tadi menuggunya terparkir
tepat di depan rumah bercat biru cyan miliknya, dia telah menutup segala
kenangan dan perihnya bersama dengan ditutupnya pintu rumah itu. Dia
meninggalkan segala kesakitan, kekecewaan dan rasa berdosanya bersamaan dengan
melajunya taksi menuju bandara yang menjadi gerbang baginya untuk menata masa
depan yang lebih baik. Dia masih kadang mengingat bagaimana indahnya momen
dirumahnya itu, ketika mereka bercanda, mengerjakan tugas, berkelahi, dan
saling menghujat semuanya sangat membekas apalagi momennya bersama Raka yang
begitu banyak dan dimana pun jika mereka berdua.
“Hal
terbodoh yang aku lakukan di dunia ini, ketika aku merindukanmu dan kau malah
sebaliknya.”
Revan mengakhiri
lamunannya dan segera menutup kaca taksi karena beberapa menit lagi dia akan
sampai di Bandara dan benar-benar meninggalkan Indonesia dan kenangan pahitnya.
***
Hari itu mendung dan sedikit berangin, rumput bergoyang
karena dersik yang sedikit kencang. Beberapa orang dalam kelas yang bercat krem
sedang mengeratkan ikatan jaket mereka, ada yang sedikit menggosok kedua tangan
untuk menciptakan kehangatan. Siang itu terasa berbeda seakan ada yang hilang,
langit rupa tak ingin hujan tapi tak kunjung mengijinkan mentari muncul.
Dosen yang sedari tadi ditunggu akhirnya datang dengan
map biru ditangannya, entah itu hasil ujian atau pengumuman lainnya. Beberapa
dari mereka yang tadi duduk di luar segera masuk ke dalam kelas karena sadar
dosen itu kian mendekat masuk ke dalam kelas mereka,
“Selamat siang, hari ini bapak tidak akan mengajar tapi
hanya memberi tugas!”
“Yah, “ sorak sorai dari mahasiswa dalam ruangan itu
“Dan bapak punya satu pengumuman bahwa teman kalian Revan
Aditya memutuskan untuk mengambil beasiswa youth
exchange ke Thailand, jadi untuk semester ini sampai semester depan dia
akan ada di Thailand dan menerima gelar sarjana di sana sebelum dia kembali ke
Indonesia dan wisuda kembali disini.” Ujar dosen itu.
“Oh gitu pak, kapan Revan berangkat?” Gee dengan sinis
bertanya
“Dia sudah berangkat, sekarang 11.15, 15 menit lagi
pesawatnya akan bertolak ke Thailand.”
“Bapak kok baru bilang sekarang? Aduh pak, saya dan Melly
ijin pak! Mau nganterin Revan” ujar Dea berdiri dan mengambil tasnya
“Oh baiklah, ada yang mau ikut dengan mereka? Bapak
mengijinkan kalian mengantarkan Revan. Dia salah satu yang terbaik di Kampus
kita!”
Seketika semua terdiam
dan tak ada yang menghiraukan perkataan pak Dosen, hanya beberapa orang yang
memandang pak Dosen dengan datar. Sampai akhirnya keheningan pecah ketika
seseorang di bangku belakang mengangkat tangan,
“Maaf pak, saya ikut mereka. Saya ijin juga” Raka berdiri
dan menyusul Dea dan Melly.
“Ok, silahkan Raka. Ada lagi?”
Melihat Raka pergi
menyusul Revan, semua anak terdiam sejenak. Mereka berpikir keras untuk pergi
atau tidak, mengingat Revan adalah sahabat terbaik yang mereka punya tapi hanya
karena penyimpangan orientasi seksual, mereka membencinya. Mereka terus
berpikir, ini bukan salah Revan. Mereka harus membantu Revan untuk berubah
karena mereka yakin Revan tidak seperti itu sebelumnya. Mereka yakin Revan bisa
kembali seperti dulu entah dia masih memiliki penyimpangan orientasi seksual
atau tidak karena sahabat harus menerima apa adanya bukan pamrih, sahabat harus
saling menghargai dan yang paling utama sahabat adalah mereka yang dengan tulus
ada di saat senang atau susah,
“Saya ikut pak!” Felix keluar kelas
“Saya juga pak” Adi mengikuti Felix
“Kami semua ikut Pak!” mereka serentak berdiri dan menuju
bandara
Dosen tersebut terharu
melihat betapa kuatnya kekuatan persahabatan anak muda, persahabatan yang masih
murni tidak ada kepentingan di dalamnya. Mereka menujukkan bahwa apapun yang
ada pada dirimu entah itu kekuranganmu atau kelebihanmu sahabat akan selalu
menerimamu.
***
Revan masih berdiri di pintu ruang tunggu, dia enggan
masuk karena pesawatnya masih delay
padahal jam keberangkatannya sudah lewat
15 menit yang lalu. Dia merogoh saku celananya mengambil ponsel yang dari tadi
pagi dia senyapkan, terlihat jelas dilayar banyaknya panggilan tak terjawab
dari Dea, Melly, Gee, Felix, Adi dan Raka. Tunggu apa ini tidak salah mereka
menghubungi Revan? Tapi Revan segera menepis itu semua. Revan sadar bahwa
mungkin mereka hanya menganggap ini lelucon kecuali untuk Dea dan Melly
tentunya. Revan masih terus memandangi layar ponselnya, sesekali ia menyeka air
matanya ketika melihat foto di galerinya. Dia bersyukur pernah memiliki teman,
sahabat bahkan saudara seperti mereka. Revan menghela nafas dan beranjak masuk
ke dalam ruang tunggu,
“Mungkin saatnya aku pergi, aku mungkin bukan siapa-siapa
lagi buat mereka. Tapi bagiku mereka tetap yang terbaik yang pernah ku miliki.”
Belum sempat Revan
berbalik, sebuah teriakan yang begitu riuh terdengar memanggil namanya, dia
tidak percaya karena siapa yang peduli padanya sekarang? Tak ada! Dia berhenti
sejenak untuk memastikan suara itu, dan suara itu kian dekat dan nyata. Ketika
Revan berbalik, semua teman kelasnya berada di area tunggu bagi pengunjung.
Revan tak percaya jika mereka masih peduli padanya, mereka masih sayang pada
Revan. Revan segera menghampiri mereka, dengan air mata yang masih berderai,
“Kalian kenapa di sini? Kalian ingin menghinaku? Tak apa!
kalian datang menghina saja aku bersyukur, setidaknya secara tidak langsung
kalian mengantarku” isak Revan
“eh lu ngomong apa sih, sini peluk gua. Mana mungkin gua
mau ngehina sahabat gua. “ Raka memeluk Revan
“Yaelah, lu mah negative
thinking Rev, kita mau nganter lu. Lu kan sahabat kita, masa gak ada yang
nganter mau keluar negeri lagi. Ya gak temen-temen?” Gee tersenyum
“Yup, tau juga tuh si Revan ke Luar negeri gak
ngajak-ngajak. Awas aja kalo pulang gak bawa oleh-oleh minimal buat gua Cowok
Thailand yang keren dan kece kayak yang di Hormones itu” Sylvia menepuk
punggung Revan
“Lu jahat,Rev. Gak bilang-bilang mau ke Thailand. Kan gua
mau ikut!” Melly meregek
“Kamu lihat kan Reva mereka sayang sama kamu. Kita gak
bisa ngebiarin kamu pergi tanpa ada yang antar. Setidaknya kami semua dapat
oleh-oleh. Masalah aku mau bunuh kamu kalau pindah, gak jadi deh yang penting
kamu bahagia kita semua juga bahagia Rev!” Dea memeluk Revan
“Terima kasih teman-teman sudah menerimaku apa adanya,
tahun depan aku akan pulang. Aku harap pas aku pulang kita bisa wisuda bareng.
Nanti dah setiap orang akan aku kasi oleh-oleh, tenang aja!” kini Revan
sumringah.
“Yoa, Hati-hati Revan! Sukses di sana! Jangan lupakan
kita!” mereka bersama melepas Revan
Kini beban dalam hati
Revan telah hilang, teman-temannya telah menerimanya dengan tulus tanpa
memandang bagaimana kelebihan dan kekurangnnya. Inilah arti persahabatan,
bersama meraih mimpi tanpa mengenal adanya batas dari mimpi itu, bersama dalam
suka atau duka tanpa mengenal pamrih setelahnya. Itulah arti sahabat yang Revan
dapatkan dari teman-temannya. Mungkin cintanya seperti meniti mangata yang
mustahil tapi persahabatannya bisa meniti mangata bahkan pancarona pelangi pun
dapat di lalui.
Palu, 4 Agustus 2015
Ahmad Haris Mirta
0 komentar:
Posting Komentar