Pages

Senin, 10 Agustus 2015

Meniti Mangata



Meniti Mangata

Sobekan buku itu serasa merobek hatinya yang sedang perih, seorang pemuda menangis di balai sebuah rumah pinggiran sungai malam itu diterangi sebuah lampu minyak sederhana,
            “Aku harus melupakannya, Dea!” pemuda itu terisak
            “Aku mengerti, Rev. Tapi kau masih sering bertemu, ingat kau adalah temannya dan terbilang dekat dengan dia. Mana mungkin kau bisa menjauhinya dalam situasi seperti itu?” seorang gadis mengelus halus punggungnya

            “Tapi aku tidak normal, aku gay dan aku tidak ingin menjadikannya objek dari cintaku yang salah. Aku menyayanginya, aku harus menjauhinya.”
            “Pikirkan Rev, kau kira mudah untuk melupakan seseorang yang kau sayangi sedangkan kau harus selalu bertemu dengannya? Kau harus sadar Rev! dengan merobek segala tulisanmu yang isinya momenmu dan Raka bisa membuatmu bebas? Tidak!”
            “De, aku takut semua orang tahu. Aku sudah mulai dicurigai, apa kau tak ingat saat kita jalan ke Mall ketika Raka dekat aku, dan Mia bercanda soal aku suka Raka. Aku bersemu merah De, banyak yang sadar akan itu sampai Felix menegurku kalau aku benar suka dengan Raka.”
            “Ya, aku juga takut Rev. Sampai saat ini hanya aku dan Melly yang tahu kau berbeda. Tapi aku takut yang lain mengetahui dan tidak siap menerimanya”
            “Dea, aku takut jika itu terjadi. Aku ingin pindah saja dan melupakan semuanya!”
            “Jangan pernah katakan pindah! Aku akan membunuhmu.”
Pemuda itu masih menatap nanar pada sobekan kertas yang berserakan di rumput, matanya masih tergenang air mata karena logikanya bertentangan dengan perasaannya. Dia harus melawan perasaannya demi logika yang harus diterima oleh teman-temannya, dia memandangi sungai yang terbayang Mangata dari pantulan bulan sehingga membentuk sebuah jalan. Cintaku seperti meniti mangata, mustahil untuk terwujud.
****
            Pemuda itu masih dengan perasaan gusarnya masuk ke kelas seperti biasa, dia berusaha untuk bersikap normal di hadapan teman-temannya. Ketika langkahnya melewati papan tulis yang masih penuh dengan coretan angka, tatapan sinis dan jijik dilemparkan oleh beberapa temannya kepada pemuda itu. Dia berusaha bersikap biasa dan berprasangka baik, tapi sebelum dia duduk dengan jelas tertulis dengan besar dan berwarna hitam kelam, “KAU GAY!”. Tamparan keras pagi itu untuk pemuda bermata abu-abu itu. Seakan tungkainya lepas dari tempatnya, ia dengan lemas duduk dan mulai menghapus tulisan itu disertai derai air matanya yang menetes di mejanya.
            “Hei homo, eh lu nangis? Ya elah pantes lu jadi homo. Lu cengeng bo! Haha” teriak seorang pemuda di sudut ruang kelas.
            “Eh homo itu nular gak sih? Pantesan aja lu jomblo. Oh ternyata kamu suka sesama toh! Apalagi yang ditaksir mana Raka lagi! Mimpi dah!” teriak gadis di depan meja dosen.
            “Jijik dah gua jadinya, lu baik sih. Tapi setelah tau lu homo gua jadi berpikiran lu baik ke cowok-cowok soalnya lu ngincer kita-kita” pemuda lainnya berteriak jijik.
            “Jadi pengen pindah deh, gak betah kalo ada homo di kelas. Atau kamu aja yang pindah, ke US sana! Di sana homo bisa nikah, kan cocok sama kamu!” Gadis berkacamata berlalu keluar kelas.
            “Stop! Kalian gak ngerti semuanya! Kalian jahat sudah giniin Revan! Dia udah baik ke kita, gak mungkin dia bakal nyakitin kita. Coba nanti kalian tanya ke Raka, apa pernah Revan bikin susah Raka? Yang ada Raka yang nyusahin Revan!” Dea masuk ke dalam kelas.
            “Eh lu mah ngebela dia, jelas lah lu temannya. Mungkin lu Fujoshi! Suka liat homo mesra-mesraan.” Pemuda di sudut berdiri menuju Dea.
            “Gak gitu Gee! Revan emang gak maksud buat nyakitin kita. Dia juga gak mau kayak gini. Dia mau normal tapi perasaanya masih ada sama si Raka!” Melly ikut bicara
            “Hahahha, bullshit lu semua. Eh lu yang homo! Lu gak naksir gua kan? Tapi kalo gua liat lu emang cocok jadian sama Raka. Lu itu imut dan kalo gua perhatiin setiap kita kumpul atau nginap lu sering banget deket bahkan sampingan tidur sama Raka, dan lu serasi kok tapi sayang lu cowok! Sadar woy!” Gee geram dan melempar buku dihadapan Revan
Pemuda yang dulunya disegani dan disayangi di kelas ini kini berubah menjadi orang paling dihindari dan dibenci karena dia adalah seorang gay. Revan hanya terdiam dan terus menitikan air mata, kini semuanya telah hancur. Rahasianya telah terbongkar, meniti mangata semakin jelas.
            “Pagi guys, eh pagi-pagi gini udah ngumpul. Eh Revan! lu kenapa nangis?” Raka menyapa dari pintu.
            “Eh kebetulan, Bro kemari deh. Lu tau kan sekarang banyak LGBT yang berkeliaran.” Pemuda di samping Revan mencibir.
            “Iya kan kita udah bahas ini pas diskusi gitu kan? Emang kenapa di?”
            “Eh ini, ada homo di kelas kita! Noh orangnya lagi nangis soalnya kita udah tahu siapa dia sebenernya!” Adi gemas
            “What? Revan? Guys! Ini bukan April Mop, gak usah kayak gini deh. Kasian tuh Revan udah nangis, atau Revan juga nangisnya bohongan nih! Gak lucu sumpah!”
            “Ini serius, Raka! Coba kamu lihat setiap Revan dekat sama kamu pasti dia seneng dan bersemu merah. Dia gak segan kan bantuin kamu kalo lagi kesusahan meski dia juga banyak urusan? Nah dia naksir sama kamu!” Selena gadis berkecamata itu masuk dan berdiri di samping Raka.
            “Revan! Jawab aku! Apa bener yang temen-temen bilang kalo lu Gay dan suka sama gua? Hah? Jawab Rev!” desak Raka
            “Maaf!” Revan berdiri dan meninggalkan kelas menuju parkiran.
Raka lemas mendengar kata yang diucapkan Revan, dia masih tidak percaya kalau teman yang selama ini suka membantunya dalam kesusahan ternyata naksir dengannya. Raka terdiam melihat semua temannya menatap jijik pada Revan, dia tidak tega melihat Revan diperlakukan seperti itu tapi dia juga membenci Gay! Dia Homophobic, dia tidak ingin berurusan dengan hal semacam itu. Raka mengepalkan tangannya,
            “Gua mau Revan segera pindah dari kampus ini! Selama dia di kelas ini, bikin dia gak betah! Kursinya geser ke belakang dan beri batas.!” Raka sedikit berteriak
            “Kamu tega Raka! Aku kecewa!” Dea berlalu keluar
          “Lu keterlaluan Rak! Lu gak bisa giniin Revan! Lu sama jahatnya sama penjahat yang dipenjara karena kriminal berat. Gua gak nyangka lu sekejam ini ke orang yang udah baik ke lu!” mata Melly berkaca-kaca
            “Baik dan homo! Percuma! Suruh dia pindah secepatnya sebelum bokap gua yang turun tangan buat ngeluarin dia dari Kampus ini!”
            “Lu emang iblis! Lu sama aja sama teman-teman yang lain, gak punya hati! Kalian memang jahat!” Melly berlalu sambil menahan tangisnya
Kini Revan benar-benar menjadi orang yang dibenci, dan dianggap sebagai penjahat karena penyimpangan orientasi seksualnya. Revan tak pernah menduga bahwa akan secepat ini dia akan kehilangan teman-temannya. Teman-teman yang dulu selalu bersamanya dan menghargainya, kini berubah menjadi musuhnya. Revan sadar bahwa ini akan terjadi pada akhirnya tapi dia belum siap dengan ini semua, dia masih menyayangi teman-temannya karena selama ini hanya mereka yang selalu ada buat Revan. Revan kini tau bahwa tak ada yang selamanya di dunia ini termasuk pertemanan yang mereka jalin selama hampir 3 tahun, miris rasanya Revan melihat dirinya kini sendiri dan hanya dua orang temannya yang mau mengerti akan keadaanya sebagai gay.
***
Revan sedari tadi membolak balikkan tiket yang ada di tangannya, dia sudah memutuskan untuk pindah dan memulai hidup baru di Thailand. Meski kepindahannya sangat dia rahasiakan termasuk pada sahabatnya Dea dan Melly. Pengurusan berkasnya telah selesai di Fakultas dan Universitasnya, dia memilih Thailand karena Negara itu sudah ”Open mind” dengan hal semacam LGBT, jurusan yang dia pilih tidak jauh dari jurusannya sekarang, Hubungan Internasional. Beberapa jam lagi, Revan akan meninggalkan Indonesia, ketika dia menunduk dan melihat jamnya angka 9 ditunjuk oleh jarum yang terus berputar itu. Dia akan berangkat pukul 11.30, segera saja dia mempersiapkan diri menuju Bandara untuk check in.
Taksi biru yang sedari tadi menuggunya terparkir  tepat di depan rumah bercat biru cyan miliknya, dia telah menutup segala kenangan dan perihnya bersama dengan ditutupnya pintu rumah itu. Dia meninggalkan segala kesakitan, kekecewaan dan rasa berdosanya bersamaan dengan melajunya taksi menuju bandara yang menjadi gerbang baginya untuk menata masa depan yang lebih baik. Dia masih kadang mengingat bagaimana indahnya momen dirumahnya itu, ketika mereka bercanda, mengerjakan tugas, berkelahi, dan saling menghujat semuanya sangat membekas apalagi momennya bersama Raka yang begitu banyak dan dimana pun jika mereka berdua.
“Hal terbodoh yang aku lakukan di dunia ini, ketika aku merindukanmu dan kau malah sebaliknya.”
Revan mengakhiri lamunannya dan segera menutup kaca taksi karena beberapa menit lagi dia akan sampai di Bandara dan benar-benar meninggalkan Indonesia dan kenangan pahitnya.
***
            Hari itu mendung dan sedikit berangin, rumput bergoyang karena dersik yang sedikit kencang. Beberapa orang dalam kelas yang bercat krem sedang mengeratkan ikatan jaket mereka, ada yang sedikit menggosok kedua tangan untuk menciptakan kehangatan. Siang itu terasa berbeda seakan ada yang hilang, langit rupa tak ingin hujan tapi tak kunjung mengijinkan mentari muncul.
            Dosen yang sedari tadi ditunggu akhirnya datang dengan map biru ditangannya, entah itu hasil ujian atau pengumuman lainnya. Beberapa dari mereka yang tadi duduk di luar segera masuk ke dalam kelas karena sadar dosen itu kian mendekat masuk ke dalam kelas mereka,
            “Selamat siang, hari ini bapak tidak akan mengajar tapi hanya memberi tugas!”
            “Yah, “ sorak sorai dari mahasiswa dalam ruangan itu
            “Dan bapak punya satu pengumuman bahwa teman kalian Revan Aditya memutuskan untuk mengambil beasiswa youth exchange ke Thailand, jadi untuk semester ini sampai semester depan dia akan ada di Thailand dan menerima gelar sarjana di sana sebelum dia kembali ke Indonesia dan wisuda kembali disini.” Ujar dosen itu.
            “Oh gitu pak, kapan Revan berangkat?” Gee dengan sinis bertanya
            “Dia sudah berangkat, sekarang 11.15, 15 menit lagi pesawatnya akan bertolak ke Thailand.”
            “Bapak kok baru bilang sekarang? Aduh pak, saya dan Melly ijin pak! Mau nganterin Revan” ujar Dea berdiri dan mengambil tasnya
            “Oh baiklah, ada yang mau ikut dengan mereka? Bapak mengijinkan kalian mengantarkan Revan. Dia salah satu yang terbaik di Kampus kita!”
Seketika semua terdiam dan tak ada yang menghiraukan perkataan pak Dosen, hanya beberapa orang yang memandang pak Dosen dengan datar. Sampai akhirnya keheningan pecah ketika seseorang di bangku belakang mengangkat tangan,
            “Maaf pak, saya ikut mereka. Saya ijin juga” Raka berdiri dan menyusul Dea dan Melly.
            “Ok, silahkan Raka. Ada lagi?”
Melihat Raka pergi menyusul Revan, semua anak terdiam sejenak. Mereka berpikir keras untuk pergi atau tidak, mengingat Revan adalah sahabat terbaik yang mereka punya tapi hanya karena penyimpangan orientasi seksual, mereka membencinya. Mereka terus berpikir, ini bukan salah Revan. Mereka harus membantu Revan untuk berubah karena mereka yakin Revan tidak seperti itu sebelumnya. Mereka yakin Revan bisa kembali seperti dulu entah dia masih memiliki penyimpangan orientasi seksual atau tidak karena sahabat harus menerima apa adanya bukan pamrih, sahabat harus saling menghargai dan yang paling utama sahabat adalah mereka yang dengan tulus ada di saat senang atau susah,
            “Saya ikut pak!” Felix keluar kelas
            “Saya juga pak” Adi mengikuti Felix
            “Kami semua ikut Pak!” mereka serentak berdiri dan menuju bandara
Dosen tersebut terharu melihat betapa kuatnya kekuatan persahabatan anak muda, persahabatan yang masih murni tidak ada kepentingan di dalamnya. Mereka menujukkan bahwa apapun yang ada pada dirimu entah itu kekuranganmu atau kelebihanmu sahabat akan selalu menerimamu.
***
            Revan masih berdiri di pintu ruang tunggu, dia enggan masuk karena pesawatnya masih delay padahal  jam keberangkatannya sudah lewat 15 menit yang lalu. Dia merogoh saku celananya mengambil ponsel yang dari tadi pagi dia senyapkan, terlihat jelas dilayar banyaknya panggilan tak terjawab dari Dea, Melly, Gee, Felix, Adi dan Raka. Tunggu apa ini tidak salah mereka menghubungi Revan? Tapi Revan segera menepis itu semua. Revan sadar bahwa mungkin mereka hanya menganggap ini lelucon kecuali untuk Dea dan Melly tentunya. Revan masih terus memandangi layar ponselnya, sesekali ia menyeka air matanya ketika melihat foto di galerinya. Dia bersyukur pernah memiliki teman, sahabat bahkan saudara seperti mereka. Revan menghela nafas dan beranjak masuk ke dalam ruang tunggu,
            “Mungkin saatnya aku pergi, aku mungkin bukan siapa-siapa lagi buat mereka. Tapi bagiku mereka tetap yang terbaik yang pernah ku miliki.”
Belum sempat Revan berbalik, sebuah teriakan yang begitu riuh terdengar memanggil namanya, dia tidak percaya karena siapa yang peduli padanya sekarang? Tak ada! Dia berhenti sejenak untuk memastikan suara itu, dan suara itu kian dekat dan nyata. Ketika Revan berbalik, semua teman kelasnya berada di area tunggu bagi pengunjung. Revan tak percaya jika mereka masih peduli padanya, mereka masih sayang pada Revan. Revan segera menghampiri mereka, dengan air mata yang masih berderai,
            “Kalian kenapa di sini? Kalian ingin menghinaku? Tak apa! kalian datang menghina saja aku bersyukur, setidaknya secara tidak langsung kalian mengantarku” isak Revan
            “eh lu ngomong apa sih, sini peluk gua. Mana mungkin gua mau ngehina sahabat gua. “ Raka memeluk Revan
            “Yaelah, lu mah negative thinking Rev, kita mau nganter lu. Lu kan sahabat kita, masa gak ada yang nganter mau keluar negeri lagi. Ya gak temen-temen?” Gee tersenyum
            “Yup, tau juga tuh si Revan ke Luar negeri gak ngajak-ngajak. Awas aja kalo pulang gak bawa oleh-oleh minimal buat gua Cowok Thailand yang keren dan kece kayak yang di Hormones itu” Sylvia menepuk punggung Revan
            “Lu jahat,Rev. Gak bilang-bilang mau ke Thailand. Kan gua mau ikut!” Melly meregek
            “Kamu lihat kan Reva mereka sayang sama kamu. Kita gak bisa ngebiarin kamu pergi tanpa ada yang antar. Setidaknya kami semua dapat oleh-oleh. Masalah aku mau bunuh kamu kalau pindah, gak jadi deh yang penting kamu bahagia kita semua juga bahagia Rev!” Dea memeluk Revan
            “Terima kasih teman-teman sudah menerimaku apa adanya, tahun depan aku akan pulang. Aku harap pas aku pulang kita bisa wisuda bareng. Nanti dah setiap orang akan aku kasi oleh-oleh, tenang aja!” kini Revan sumringah.
            “Yoa, Hati-hati Revan! Sukses di sana! Jangan lupakan kita!” mereka bersama melepas Revan
Kini beban dalam hati Revan telah hilang, teman-temannya telah menerimanya dengan tulus tanpa memandang bagaimana kelebihan dan kekurangnnya. Inilah arti persahabatan, bersama meraih mimpi tanpa mengenal adanya batas dari mimpi itu, bersama dalam suka atau duka tanpa mengenal pamrih setelahnya. Itulah arti sahabat yang Revan dapatkan dari teman-temannya. Mungkin cintanya seperti meniti mangata yang mustahil tapi persahabatannya bisa meniti mangata bahkan pancarona pelangi pun dapat di lalui.



Palu, 4 Agustus 2015
Ahmad Haris Mirta

0 komentar:

Posting Komentar