Pages

Sabtu, 11 Februari 2017

2 Jam



2 Jam 


“Besok jadi ke kampus kan? Jangan ditunda dong, Kartu Rencana Studiku belum aku urus” Mia mendesak
“Iya, Mia besok kita ke kampus. Ini masih banyak program yang mau dikerjakan. Oh, Tuhan! Kenapa kita santai sekali kemarin-kemarin” Hans mengacak rambutnya.
Mereka adalah mahasiswa KKN di sebuah desa di sudut pulau Kalimantan, Hans adalah seorang koordinator desa untuk desa Panajam yang menjadi lokasi KKNnya, Hans merupakan mahasiswa tingkat akhir Universitas Kaliborneo di bidang Kesehatan Kerja. Mereka telah 2 minggu disana dan bertepatan dengan pengurusan semester baru mereka harus mengurus hal-hal yang dibutuhkan salah satunya yang disebutkan mia. Jadi mereka harus kembali ke kota. Meski tidak terlalu jauh, jaraknya bisa membuat orang berpikir dua kali karena cuaca terik yang menyengat.
Seperti biasa, Hans dan teman-temannya akan melakukan bina suasana dengan warga sekitar. Mulai dari ikut serta bernyanyi, gotong royong, bahkan makan-makan bersama, semua dilakukan demi melancarkan program yang tersisa.
Hans tidak seperti biasanya, dia lebih sering tersenyum dan mungkin saja jatuh cinta. Hans sore itu duduk di balai desa sambil memegang ponselnya, maklum saja jaringan yang lumayan bagus hanya ada pada balai ini. Senyumnya merekah ketika ponsel tersebut menyala dan berbunyi “beep”, satu pesan masuk di ponselnya. Mungkin saja balasan yang ditunggunya akhirnya datang juga,
“Assalamu alaikum, sudah urus KRS?” pesan pertama Hans terkirim
“Walaikum salam, belum Hans. Itu yang aku bingung.” Balasan yang ditunggu akhirnya datang.
“Oh, ya atau begini saja. Besok aku akan ke kota. Aku ambil lembar pembayaran dirumahmu, nanti aku yang urus KRSmu di kampus. Orang rumah adakan?”
“Tidak bisa Hans, soalnya lembar pembayaran aku yang simpan. Lagi pula orang rumah tidak ada. Lebih baik aku sendiri yang urus semua”
“Oh begitu, jadi besok mau pergi dengan siapa? Kalau tidak ada kita sama-sama ke kota bagaimana?”
“Belum tau Hans, teman-temanku besok sudah pergi dan mereka juga punya boncengan. Eh, apa tidak meropatkan? Rumahku jauh dari kampus loh Hans”
“Ah, tidak apa-apa. Aku siap antar sampai rumah. Bagaimana? Besok kita ke kota sama-sama?”
“Tapi nanti kamu capek, kamu yakin. Tapi terserah kamu”
“Ok, tidak apa-apa. Besok aku jemput jam 8. Poskomu masih disamping balai desa kan?”
“Iya Hans, masih disana. Terima kasih ya. Besok aku tunggu”
Senyumnya merekah seketika, pesan itu berakhir disana. Berakhir untuk sebuah kesempatan yang membuat Hans sendiri merasakan sesuatu, seperti kupu-kupu yang terbang diperutnya. Melihat senyuman Hans, teman-temannya mengangetkan Hans,
“Wee, Kordes! Senyum terus. Pasti jatuh cinta!” terika Yuri
“haha, puber kordes lee, pasti yang status di LINE ada hubungannya ini” ucap Nutfa dengan logat sulawesi yang kental
“Oh ya, siapa sih itu? Penasaran deh! Soalnya anak-anak juga lagi kepo loh siapa sih yang bikin kordes keceh ini senyam-senyum, galau-galauan di media sosial” desak Mia
“Ah, sudahlah kalian ini, kepo! Oh ya mia, besok aku akan berangkat duluan ke kota soalnya aku pergi sama seseorang. Nanti aku jemput jam 10 terus berangkat sama-sama, boleh?”
“terserah bapak kordes, tapi hmm, pasti yang mau dijemput orang yang bikin pak kordes galau-galau dan kadang senyum-senyum sendiri”
“Ah ngawur kamu, okay!. Yuk kita balik posko, yang lain pasti sudah menunggu.”
Mereka kembali ke posko yang tak jauh dari balai desa. Malam itu rutinitas bina suasana dengan bernyanyi masih terus menjadi jurus andalan anak-anak ini untuk menarik simpati warga. Sesekali Hans ikut bergoyang, meski sebenarnya itu adalah sebuah kajaiban Hans bisa bergoyang. Hans malam itu sangat senang, beberapa kali dia tersenyum dan bahkan bernyanyi lagu cinta yang bisa kalian bayangkan bagaimana suaranya bisa merusak malam yang meriah di desa tersebut.
“Wuih rapi betul, baru jam 7.30 sudah klimis nih pak kordes” Yeli menggoda
“hahah, ini mau jemput teman di posko desa sebelah. Sama-sama ke kota”
“Oh yang ini toh. Siapa yah yang di desa sebelah?” teriak Mia
“Haha, aku pamit yah. Semuanya aku amanahkan ke Irfan yah selaku wakil”
“Ok siap pak Kordes, Oh iya salam sama posko sebelah, hahaha” irfan tertawa
“Ok sip, aku berangkat”
Sepanjang perjalanan Hans tersenyum, karena tidak menyangka akan bisa pergi bersama Ratna, gadis yang ditaksirnya sejak semester 3. Gadis pintar berkacamata yang bisa mengimbanginya ketika berdiskusi dan belajar tentunya. Perjalanan yang cukup singkat karena jarak yang tidak terlalu jauh, akhirnya Hans sampai di Balai desa dan Ratna telah menunggu, dengan setelan kemeja biru dan Jilab biru dongker seolah menjadi kode alam karena Hans pun mengenakan kaos biru,
“Sudah siap?” Ayo berangkat nanti kepanasan”
“Ayo, terima kasih ya sebelumnya”
Mereka berdua meninggalkan balai desa dan melakukan perjalanan menuju kota, waktu tempuh sekitar 45 menit membuat mereka memiliki banyak waktu untuk berbicara panjang lebar, tapi apakah kamu pernah merasakan berada pada posisi mereka? Coba kau bayangkan disisi seorang Hans, kau sedang bersama dengan orang yang kau sukai dan kau tahu orang itu sudah tahu perasaanmu sementara dia cukup diam karena menghargaimu, disisi lain sebagai Ratna, kau sedang bersama orang yang menyukaimu, dan kau tahu dia menyukaimu dan sementara sekarang kau sedang berusaha menghargainya. Mereka berada pada posisi yang sulit dan rumit. Tak ada suara yang terdengar di 10 menit pertama perjalanan, sampai akhirnya Hans mencoba bertanya beberapa pertanyaan basa-basi,
“Ratna, bagaimana program disana? Sudah selesai?”
“Yah beberapam Hans. Sedikit lagi selesai. Kamu?”
“Beberapa lagi ratna, semoga [rpgram kita bermanfaat yah”
“Aamiin Hans”
Kemudian suasana kembali menjadi canggung dan tenggelam dalam diam. Raut wajah Ratna kini bersembunyi dibalik jilbab yang disingkap menutupi mulut dan hidungnya. Waktu terus berlalu sampai akhirnya mereka sampai di rumah Ratna. Ketika memasuki halaman yang luas, Ayah ratna terlihat sedang memperbaiki taman. Ratna kemudian menyalami ayahnya dan masuk kedalam rumah. Hans menunggu di luar. Beberap saat kemudian Ratna keluar bersama ayahnya, maklum saja Ratna merupakan bungsu yang sangat dekat dengan Ayahnya,
“Ayah aku pamit, mau ke kampus terus kembali ke desa. Oh ya 2 minggu depan jemput dikampus yah”
“Iya, hati-hati. Nak Hans, hati-hati bawa motor jangan balap-balap”
“Iya Om, Pamit Om.”
Mereka menuju kampus dan mengurus segala hal yang penting, tidak ada suara diantara mereka selain bahasa kaku tentang kampus. Semua terlihat kaku, entah kenapa tidak ada yang bisa mencairkan suasana. Hans selalu mencoba itu tapi selalu gagal dengan tanggapan Ratna, begitu seterusnya. Mereka tenggelam dalam diam dan kecanggungan yang entahlah apa yang bisa melunakkan itu.
Perjalanan pulangpun seperti itu 45 menit habis hanya dalam diam, tidak ada suara. Hanya beberapa pembicaraan yang membuat mereka sempat tertawa dan kembali menjadi canggung. Entahlah apa yang terjadi diantara mereka berdua.
90 menit dijalan dan 30 menit di kota, hanya membuat mereka tenggelam dalam diam, kecanggungan tanpa suara dan pembahasan. Hans bisa saja memulai namun karena harus menghadapi orang yang disukainya membuat dia bisu bahkan suaranya yang lantang disetiap diskusi kini hilang hanya karena seorang wanita. Disisi lain, Ratna diam seribu bahasa menggantung harapan bagi Hans, tidak ada kata Ya atau Tidak, dia diam dan tak bersuara bahkan lebih diam dari saat Ratna harus mendapat nilai C di salah satu mata kuliah. Semua terdiam dan mebisu selama 2 Jam! Perasaan itu tidak tersentuh selama 2 Jam bersama!. 2 jam yang apakah sia-sia? Tidak! 2 jam itu berharga, setidaknya bagi Hans bisa bersama Ratna selama 2 jam dan itu langka untuk terjadi lagi, semua tidak sia-sia. 2 jam itu indah, indah dalam diam, karena 2 jam langka yang dimiliki mereka hanya terjadi sekali hanya pada saat ini. Biarkan Hans berbahagia dengan 2 jamnya karena Hans harus menghadapi jam-jam berikutnya yang entah apa kejadiannya dengan Ratna menggantung semuanya.


Palu,11 Februari 2017
Ahmad Haris Mirta

0 komentar:

Posting Komentar