Pages

Senin, 20 April 2015

Love is Like a Nightmare

Love is Like a Nightmare

Aku Crys, lengkapnya Crystal Emerald, nama yang ganjil untuk seorang anak laki-laki. Aku hidup dengan orang tua lengkap dan menyayangiku, Ayahku seorang Senator di Parlemen sedangkan Ibuku seorang designer dengan puluhan butik di seluruh New York. Aku memiliki keluarga yang sibuk namun di akhir pekan kami selalu berkumpul dan berbagi cerita, tidak hanya itu Adik-adikku juga sangat sibuk, adikku yang lebih muda satu tahun dariku, Silver Emerald  seorang mahasiswa teknik pertambangan di New York. Adikku yang lebih muda 8 tahun dariku Bronze Emerald, masih duduk di bangku Junior High School, dan yang paling bungsu lebih muda 14 tahun Glass Emerald yang baru masuk Primary School.

Aku yang masih tercatat sebagai mahasiswa kedokteran di dapartemen kebijakan kesehatan masyarakat, memiliki jadwal yang padat. Aku sibuk dengan banyaknya essai, praktek, sampai laporan yang harus dikumpulkan tiap minggunya. Aku sedikit lelah dengan semua tugas itu, tapi aku mencoba untuk mengerjakannya dengan senang hati, aku menikmati setiap tugas itu satu demi satu hingga semua berantakan karena “CINTA”.

Aku bingung dengan perasaanku, aku awalnya meyukai teman praktekku Serena, gadis keterunan chinnesse-America menarik perhatianku diawal semester. Aku sempat dekat dengan dia, dan semuanya berjalan lancar. Aku pikir mungkin inilah cinta yang sering kubaca di novel-novel roman picisan atau anime roman, tapi aku salah. Semua berubah sebelum promnight itu terjadi, aku bingung dengan orientasiku ketika meliha Rean, mahasiswa dari dapartemen yang sama denganku. Seorang pemuda tampan yang mencuri perhatianku saat malam promnight, saat itulah aku merasa aku berubah dan menurutku semua menagementku berantakan, aku masih ingat ketika dia mulai dekat denganku,

“Crys, kamu bisa membantuku mengerjakan Essai dari Prof.Niall?” Rean membuka suara
“Ya? Kapan? Aku melihat jadwalku terlebih dahulu!” Aku masih terpaku dengan buku ditanganku.
“Sekarang kalau kau bisa, aku ingin mengumpulkannya sore ini. Bisa membantuku?”
“Baiklah rean, kita kemana sekarang?”
“kita ke apartemenku sekarang,”
“baiklah”
Itulah sepenggal ceritaku dengan Rean ketika rasa itu pertama kali muncul, aku belum menyadari sepenuhnya jika aku mempunyai perasaan lebih pada Rean. Aku tak sadar karena saat itu aku dan Serena masih dekat dan menurutku Serena gadis yang baik, tapi aku salah ternyata memikirkan Rean setelah membantunya mengerjakan Essai adalah awal aku menyukainya.
“Crys, kita makan?”
“Makan dimana, rean?”
“Di restoran dekat kampus? Aldente Restorant? Aku dengar hidangan italia di sana enak”
“Baiklah, aku ikut denganmu!”
Aku dan rean berlari kecil keluar departemenku dan menuju restoran itu, aku dan rean mengambil meja dekat jendela yang menghadap langsung ke dapartemen,
“Pesan apa Rean?”
“Kamu pesan apa? Aku ikut saja”
“Baiklah, Sir kami pesan Lasagna toping keju, yang satunya saosnya sedikit, dan yang satunya ekstra pedas”
“aku tidak sabar, aku lapar”

Beberapa menit berlalu tak ada percakapan berarti diantara kami, aku sesekali memainkan tissue, sampai akhirnya makanan kami datang.

“Sir, ini makanannya. Lasagna toping keju biasa dan ekstra pedas. Selamat menikmati” senyum pria paruh baya pelayan restoran ini.
“Selamat makan Crys!” Rean mulai menyantap makanannya dengan lahap
“ Selamat makan Rean!” aku mulai mencicipi Lasagna ini.
Kami makan dalam diam, hanya sesekali aku melihat Rean yang makan dengan kucuran keringat karena kepedasan. Aku tersenyum melihat ekspresinya menikmati lasagna ekstra pedas itu.
“Aku selesai, ini sangat pedas” aku mengambil gulungan tissu,
“Itu tidak pedas, ini yang pedas” sambil mengambil gulungan itu dariku dan memakainya semua,
“jelas Rean, aku tak sanggup melihat keringatmu, Oh ya tissue jangan dihabiskan!” aku menarik lembaran terakhir dari gulungan itu.
“Oh aku kehabisan tissue, Crys aku butuh tissu untuk menyeka keringatku!”
“Siapa suruh makan makanan pedas? Ini aku ambilkan dari meja sebelah”
“Thanks Crys!”

Sepenggal ceritaku dengan Rean yang membuatku yakin bahwa aku benar-benar memiliki rasa pada Rean. Aku tidak pernah menyangka tidak satu atau dua momen tapi banyak momen yang membuatku menyukainya.

Aku bimbang dengan orientasiku, aku menyukai Serena sementara akupun menyukai Rean layaknya gadis yang mencintai pria yang dia sukai. Aku mencoba menghindar dari semua kemungkinan terjebak moment bersama Rean, tapi ada saja momen yang membuatku dekat dengan Rean. Aku terhimpit antara cinta dan realita. Cintaku yang tak normal dan realita yang tidak mendukungku. Aku merasa bahwa aku salah dalam hal ini, aku telah mencintai dan menyalahi kodratku. Aku menyayanginya, tapi cintaku semakin dalam kepada Rean. Aku merasa berdosa dengan semua yang kulakukan, aku merasa akulah yang paling berdosa.

Aku selalu mencoba untuk melupakannya, tapi ada rasa cemburu ketika teman-teman lainnya menjodohkannya dengan wanita yang menurut kami cantik, meski itu wajar serasa ada yang menusuk dihati sangat sakit, begitu pula ketika Rean dekat atau berbicara lebih kepada yang lain ada sesak di dadaku.
Aku mencoba untuk terus bertaruh melakukannya, melupakannya, bahkan meninggalkannya. Namun selalu saja ada momen tentangku dan Rean. Aku frustasi dengan semua ini, aku tak bisa seperti ini hidup dengan ketidak normalan, aku ingin pulang segera Tuhan. Mungkin kau tahu aku akan merusak di bumi-Mu, aku mohon terima aku jika aku ingin kembali padamu.
***
            Aku menangis membaca catatan harian kak Crys yang harus mati dengan cinta yang tak sampai, kulihat wajahnya sore itu ketika Kak Rean datang ke rumah dan mengerjakan tugas bersamanya, dia begitu sumringah dan senang. Aku tak tahu jika sore itu adalah terakhir kalinya aku melihat senyum kak Crys. Aku tak tahu jika malam itu aku harus melihatnya tak bernyawa dengan sayatan pisau di tangannya, aku tak bisa menjelaskan begitu sulitnya dia memendam dan menahan perasaannya.
            Aku melangkah ke peti kak Crys, kulihat wajah Ayah dan Ibu begitu pilu dan sendu melihat anak kebanggan mereka harus tewas dengan tragis, ya kak Crys adalah anak kebanggan Ayah dan Ibu, sebagai anak pertama dia banyak menginspirasi dan membuat keluarga kami bangga. Tapi sayang diusianya yang masih 21 tahun, dia harus pulang mendahului kami. Aku masih menyembunyikan potongan buku harian kak Crys untuk kuberikan pada kak Rean.
            Aku mencari sosok Rean, aku bingung karena aku tidak terlalu mengenali wajahnya. Aku memberanikan diri bertanya pada Kak Diana, salah satu sahabat dekat Kak Crys,
            “Kak, Dya? Kak Rean dimana?”
        “Oh Rean, itu disana sama temen cowoknya kakakmu juga. Bronze, kami turut berduka atas kepergian Crys”
            “Terima kasih kak, aku mau menemui ka Rean dulu”
Aku segera menghampiri kak Rean yang berkumpul dengan teman-temannya yang juga teman kakakku di pojok rumah dekat taman.
            “Kak Rean? Bisa aku bicara empat mata dengan kakak di ruang sebelah?”
            “Oh, Bronze? Iya bisa. Oh ya, teman-teman aku bicara sama Bronze dulu ya.”
Kami menuju ruangan bioskop untuk membicarakan catatan harian kak Crys, aku ingin memberitahukannya bahwa kak Crys begitu mencintainya.
            “Ka Rean, aku bisa tanya?”
            “Iya tanya apa Bronze?”
            “Selama kakak kenal kak Crys, kakak merasa ada yang aneh tidak dengan kak Crys?”
            “yang aneh tidak ada sih, cuman Crys perhatian ke Aku, sama sih perhatian aku ke dia dan teman-teman yang lainnya. Kenapa bronze?”
            “Kak Crys perhatian dengan kak Rean karena Kak Crys sayang dan cinta ke Kak Rean!” mukaku merah
            “Apa? Benarkah?”
            “Ini catatan harian terakhir kak Crys sebelum dia bunuh diri, kak Rean bisa baca dengan saksama.!”
Ka rean mulai mengambil sobekan kertas tadi, kemudian membacanya dengan teliti. Kulihat rawut wajahnya berubah, ada duka didalamnya.
            “Bronze, aku minta maaf. Ini semua salahku, berkenalan dengan Crys dan dekat dengannya”
            “Tidak ada yang dapat dipersalahkan Kak Rean, kak Rean tidak salah ini semua sudah digariskan Tuhan. Mungkin kak Crys sudah saatnya dipanggil tapi dengan cara seperti ini”
            “Aku minta maaf, boleh kah aku melihat ke peti mati Crys sekali saja?”
            “Boleh, ayo ku antar.”
Kami keluar dari ruangan bioskop berjalan ke aula utama untuk melihat peti mati ka Crys, kulihat Kak Rean berusaha untuk tidak terkejut dan selalu tersenyum sampai akhirnya dia melihat peti mati kak Crys, dan membisikkan sesuatu pada kak Crys. Jika aku tak salah membaca gerak bibirnya kak Rean hanya berkata,
“Terima Kasih telah mencintaiku, kau yang terbaik Crys”.




Palu, 10 April 2015
Ahmad Haris Mirta

0 komentar:

Posting Komentar